Surat ini diturunkan di Mekah sebanyak 34 ayat.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.
Alif laam miim. (QS. 31 Luqman: 1)
Surat ini bernama Alif laam miim. Seorang ulama berkata: Huruf-huruf yang terputus-putus ini merupakan prinsip-prinsip surat al-Qur`an dan kunci gudang pelajaran. Di sini ketiga huruf tersebut mengisyaratkan bahwa Aku-lah Allah. Aku memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan menganugrahkan ampunan dan kebaikan.
Inilah ayat-ayat al-Qur'an yang mengandung hikmat (QS. 31 Luqman: 2)
Tilka (inilah), yakni surat ini dan ayat-ayatnya.
Ayatul kitabil hakimi (ayat-ayat al-Qur'an yang mengandung hikmat), yakni yang memiliki hikmah sebab kitab ini mencakup ayat-ayat tersebut. Atau kitab ini tetap dan terpelihara dari perubahan dan penggantian; terhindar dari kerusakan dan kebatilan.
Menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. 31 Luqman: 3)
Hudan (menjadi petunjuk) dari kesesatan.
Warahmatan (dan rahmat) dari azab.
Lilmuhsinina (bagi orang-orang yang berbuat kebaikan). Kata muhsin senantiasa digunakan dalam konteks pujian bagi Kaum Mu`minin. Pengkhususan Kitab sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang melakukan kebaikan menunjukkan bahwa tiada yang mendapat petunjuk kecuali mereka itu.
Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. (QS. 31 Luqman: 4)
Al-ladzina yuqimunash shalata (yaitu orang-orang yang mendirikan shalat). Penggalan ini menerangkan sifat para pelaku kebaikan serta menjelaskan jenis kebaikan yang mereka lakukan. Mendirikan shalat berarti menunaikannya. Menunaikan diungkapkan dengan mendirikan untuk menunjukkan bahwa shalat sebagai tiang agama. Dalam al-Mufradat ditegaskan bahwa mendirikan sesuatu berarti memenuhi haknya. Mendirikan shalat berarti memenuhi berbagai syarat shalat, bukan menampilkan gerakan-gerakannya semata.
Wayu`tunaz zakata (mereka menunaikan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya dengan memenuhi ketentuannya.
Dalam Hadits ditegaskan, Jagalah hartamu dengan zakat dan obatilah orang yang sakit di antara kamu dengan sedekah (HR. Thabrani).
Maka zakat kaum awam adalah setengah dinar dari setiap 20 dinar guna membersihkan jiwa mereka dari najis kebakhilan, sebagaimana firman Allah,
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (at-Taubah: 103).
Penunaian zakat sesuai dengan tuntutan syari’at dan pelaksanaan rukun-rukun Islam lainnya akan membuahkan keselamatan orang awam dari api neraka. Adapun zakat kaum khawash adalah dari seluruh harta. Zakat mereka ditujukan untuk membersihkan qalbu dari karat cinta dunia.
Wahum bilakhirati (dan mereka, akan adanya negeri akhirat) dan pembalasan amal. Akhirat dinamai akhirat karena merupakan akhir dunia.
Hum yuqinuna (mereka yakin). Maka mereka tidak meragukan ba’ats dan hisab. Pengulangan hum untuk menguatkan keyakinan mereka akan ba’ats dan perhitungan amal. Akhirat merupakan persinggahan kedua bagi orang yang berjalan dari persinggahan dunia menuju Allah Ta’ala dengan kaki ketulusan.
Barangsiapa yang berangkat dari dunia, niscaya dia berada di akhirat, maka dia akan meyakininya setelah sebelumnya mengimaninya. Tidak diragukan lagi bahwa dunia merupakan hijab jasmaniah yang gelap, sedangkan akhirat merupakan hijab ruhaniah yang bercahaya. Maka seorang salik hendaknya merobek hijab tersebut dengan melakukan perjalanan dari alam dunia ke alam arwah.
Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 31 Luqman: 5)Ula`ika (mereka itulah), orang-orang yang melakukan kebaikan yang memiliki berbagai sifat yang agung.
‘Ala hudam mirrabbihim (orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya), orang yang mengikuti penjelasan-Nya; Dia menerangkan jalan bagi mereka dan memberi mereka taufik untuk menapakinya.
Wa`ula`ika humul muflihuna (dan mereka itulah orang-orang yang beruntung), yang berhasil meraih aneka tujuan dan selamat dari segala hal yang ditakuti sebab mereka telah menyatukan akidah yang hak dengan amal saleh.
Al-falah berarti keuntungan dan tercapainya tujuan. Keuntungan ada dua: duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi berarti keberhasilan meraih aneka kebahagiaan yang membuat kehidupan dunia ini menyenangkan. Adapun keuntungan ukhrawi ada empat: baqa tanpa fana, kaya tanpa miskin, mulia tanpa hina, tahu tanpa bodoh. Karena itu dikatakan, “Tiada kehidupan yang hakiki kecuali kehidupan akhirat.”
Dan di antara manusia ada orang yang memilih perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olok. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. 31 Luqman: 6)
Waminan nasi (dan di antara manusia), yakni sebagian manusia.
Man yasytari (ada orang yang memilih). Isyitira` berarti menyerahkan harga pembelian dan menerima barang. Makna ayat: ada orang yang menukar dan memilih.
Lahwal haditsi (perkataan yang tidak berguna), yaitu perkataan yang melalaikan seseorang dari perkara yang penting, misalnya obrolan yang tidak memiliki landasan, dongeng-dongeng yang tidak ada manfaatnya, obrolak humor, dan tuturan lain yang tidak mengandung kebenaran. Kata al-hadits digunakan baik untuk perkataan yang sedikit maupun banyak, sebab perkataan ini terjadi sedikit demi sedikit.
Abu Utsman rahimahullah berkata, “Setiap tuturan selain Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya, atau tentang sirah kaum shalihin dikategorikan lahwun.
Mayoritas ahli tafsir memandang bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan an-Nadlar bin al-Harits yang tewas oleh Rasulullah saw.
Dalam keadaan pasrah, yaitu setelah usai Peristiwa Badar. Diriwayatkan bahwa dia pergi ke Persia untuk berdagang, lalu membeli buku Kalilah dan Dimnah serta buku dongeng Rustam dan Isfandiar, serta cerita tentang para kisra. Lalu dia menceritakannya kepada kaum Quraisy di tempat-tempat mereka berkumpul. An-Nadlar berkata, “Muhammad menceritakan kaum ‘Ad dan Tsamud kepada kalian. Aku pun dapat menceritakan Rustam dan Isfandiar kepada kalian.” Mereka tertarik oleh ceritanya dan meninggalkan penyimakan atas al-Qur`an. Jadi, membeli pada ayat di atas diartikan secara hakiki, yaitu an-Nadlar yang membeli buku-buku cerita dengan uangnya sebagai perkataan yang tidak berguna dan melalaikan.
Liyudlilla (untuk menyesatkan) manusia dan memalingkan mereka.
‘An sabilillahi (dari jalan Allah), yakni dari agama-Nya yang hak yang mengantarkan kepada-Nya. Atau buku-buku tersebut digunakan untuk menyesatkan dan mencegah mereka dari Kitab-Nya yang mengantarkan kepada-Nya. Jika dia menyesatkan orang lain, berarti dia sendiri sesat.
Bighairi ‘ilmin (tanpa pengetahuan), yakni: sedang dia tidak mengetahui apa yang dibeli dan dipilihnya itu; atau tidak memahami perniagaan sehingga bacaan al-Qur`an ditukar dengan perkataan yang melalaikan.
Wayattakhidzaha huzuwan (dan menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olok) dan bahan senda gurau.
Ula`ika (mereka itu), yakni orang yang disifati dengan membeli dan sesat.
Lahum ‘adzabum muhinun (akan memperoleh azab yang menghinakan) lantaran mereka menghinakan kebenaran melalui pengutamaan kebatilan atas kebenaran serta mendorong manusia supaya menyukai kebatilan.
Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka berilah dia kabar gembira dengan azab yang pedih. (QS. 31 Luqman: 7)
Wa idza tutla ‘alaihi (dan apabila dibacakan kepadanya), yakni kepada si pembeli. Penggalan ini menunjukkan bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan an-Nadlar bin al-Harits.
Ayatuna (ayat-ayat Kami), yakni ayat-ayat Kitab Kami.
Walla mustakbiran (dia berpaling dengan menyombongkan diri) secara berlebihan dan mempertahankan diri supaya tidak taat dan menyimak.
Ka`allam yasma’ha (seolah-olah dia belum mendengarnya). Penggalan ini menyerupakan dia dengan orang yang tidak pernah mendengar ayat, padahal dia pernah. Penggalan ini mengisyaratkan bahwa tidaklah mungkin orang yang mendengar ayat Allah berpaling dan menyombongkan diri sebab ayat itu mengandung perkara yang mengharuskan seseorang berkonsentrasi dan tunduk kepadanya.
Ka`anna fi udzunaihi waqran (seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya). Penggalan ini menyerupakan keadaannya dengan keadaan orang yang pada kedua telinganya terdapat sumbat yang menghambatnya untuk mendengar. Waqrun berarti beban yang mengubah ketajaman pendengaran.
Fabasysyirhu bi’adzabin alimin (maka berilah dia kabar gembiralah dengan azab yang pedih), yakni beritahukanlah bahwa azab yang kepedihannya berlebihan pasti menimpa mereka. Kata gembirakanlah dimaksudkan untuk membungkam. Kemudian Allah menceritakan kaum yang sebaliknya dari mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka surga-surga yang penuh kenikmatan, (QS. 31 Luqman: 8)
Innalladzina amanu (sesungguhnya orang-orang yang beriman) kepada ayat-ayat Kami.
Wa ‘amilush shalihati (dan mengerjakan amal-amal saleh), yakni mengamalkan apa yang diwajibkan oleh ayat itu. Iman berarti membenarkan dengan qalbu dan membuktikannya dengan amal saleh. Karena itu, Allah menyatukan iman dan amal, sehingga dia berhak meraih surga.
Lahum (bagi mereka), sebagai imbalan atas keimanan dan amalnya.
Jannatun na’imi (surga-surga yang penuh kenikmatan), yakni aneka nikmat surga. Penyajian jannatun na’im secara terbalik (biasanya na’imul jannat) dimaksudkan untuk menyangatkan kenikmatan.
Dikatakan: Jannatu na’im merupakan salah satu dari delapan surga, yaitu Darul Jalal, Darus Salam, Darul Qarar, Surga ‘And, Surga Ma`wa, Surga Khuldi, Surga Firdaus, dan Surga Na’im. Demikianlah diriwayatkan oleh Wahab bin Munabbih dari Ibnu Abbas r.a.
Kekal mereka di dalamnya; sebagai janji Allah yang benar. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 31 Luqman: 9)
Khalidina fiha wa’dallahi (kekal mereka di dalamnya), yakni janji Allah itu berupa surga na’im sebagai janji yang diberikan kepada mereka.
Haqqan (sebagai janji Allah yang benar). Yakni kebenaran janji itu sungguh nyata. Penggalan ini menguatkan firman Allah lahum jannatun na’imu.
Wahuwal ‘azizu (dan Dialah Yang Maha Perkasa), yang tidak dapat dikalahkan oleh apa pun yang dapat menghambat pelaksanaan janji-Nya atau pewujudan ancaman-Nya.
Al-hakimu (lagi Maha Bijaksana), yang tidak melakukan kecuali apa yang dituntut oleh hikmah dan kemaslahatan.
Hukum Nyanyian
Sebagian mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lahwal hadits pada ayat di atas ialah nyanyian. Dengan demikian, ayat itu bermakna: barangsiapa yang membeli perempuan yang dapat bernyanyi. Imam Malik berkata, “Jika membeli budak perempuan dan ternyata dia dapat bernyanyi, hendaknya dia mengembalikan budak karena aib itu.”
Dalam ilmu fiqih ditegaskan bahwa kesaksian seorang laki-laki yang suka bernyanyi untuk orang lain tidak diterima karena dia membuat manusia berkumpul untuk melakukan dosa. Orang semacam ini tidak terpelihara dari kebohongan. Namun, jika dia bernyanyi untuk diri sendiri, menghilangkan kesepian, dan mengusir kesedihan, maka kesaksiannya diterima sebab keadilannya tidak akan hilang dengan perbuatan demikian. Juga tidak diterima kesaksian perempuan yang suka bernyanyi, baik untuk orang lain maupun bukan, sebab meninggikan suaranya adalah haram.
Maka melakukannya haram. Karena itu, Rasulullah saw. Melarang mendengarkan suara penyanyi perempuan karena dapat menjatuhkan dari derajat keadilan. Dalam sebuah Hadits ditegaskan,
Tidak boleh mengajar penyanyi perempuan, menjualnya, atau membelinya. Harga penjualannya haram (HR. Thabrani).
Rasulullah saw. Juga melarang mengambil uang hasil jual-beli anjing dan hasil meniup seruling. Makhul berkata, “Barangsiapa yang membeli budak perempuan yang bisa memainkan musik dan menahanya karena nyanyian dan kepandaiannya bermain musik, lalu dia meninggal, maka aku takkan menyalatkannya karena Allah Ta’ala berfirman. Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna….
Dalam sebuah Hadits dikatakan,
Allah mengutusku sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam. Dia menyuruhku menghapus segala bentuk rebana, alat musik tiup, alat musik petik, simbal, dan masalah kejahiliahan. Rabbku, dengan kemuliaan-Nya, bersumpah, “Tidaklah salah seorang hamba-Ku meneguk khamr seteguk dengan senagaja melainkan pada hari kiamat Aku akan memberinya air minum nanah, baik dia telah diampuni atau disiksa. Dan tidaklah hamba-Ku meninggalkan seteguk khamr karena takut kepada-Ku, melainkan Aku akan memberinya minuman dari telaga al-Quds pada hari kiamat.”
Dalam Hadits lain dikemukakan,
Aku diutus untuk menghancurkan al-mazamir dan membunuh babi.
Ibnu al-Kamal berkata, “Yang dimaksud dengan al-mazami ialah seluruh alat musik sebagai suatu perampatan, meskipun makna asal al-mazamir ialah alat musik tiup seperti terompet dan selainnya. Yang dimaksud dengan “menghancurkan” bukanlah makna sebenarnya, tetapi bermakna mengeraskan larangan.
Dalam Hadits lain ditegaskan,
Tidaklah seseorang memenuhi telinganya dengan nyanyian, pada hari kiamat dia takkan diizinkan mendengar suara Ruhaniyin. Rasulullah ditanya, “Siapakah Ruhaniyin itu, wahai Rasul?” Beliau menjawab, “Para ahli qira`at surga.” (HR. al-Hakim).
Ahli qira`at itu dari kalangan malaikat, bidadari, dan sebagainya.
Para ahli semantik berkata: Ayat di atas mencakup orang yang lebih memilih perbuatan yang tidak berguna, main-main, alat musik tiup, dan perkusi daripada al-Qur`an. Makna-makna ini dapat saling menggantikan untuk menunjukkan kata al-lahwu sebagaimana dikatakan dalam al-Wasith.
Dalam an-Nishab dikatakan: Ahli dzimmi dilarang menjual alat musik tiup dan alat musik perkusi serta bernyanyi secara terang-terangan.
Ketahuilah bahwa tatkala al-Qur`an merupakan tuturan yang paling benar dan paling sedap serta menyimak dan mendengarnya dapat membuahkan rahmat Allah, maka dianjurkan melagukan al-Qur`an, yakni membaguskan dan memperindah suara sebab hal itu dapat melembutkan hati dan menimbulkan rasa takut sebagaimana hal ini dikemukakan oleh al-Imam al-A’zham rahimahullah di dalam Fat-hul Qarib. Namun, dalam melagukan al-Qur`an tidak melampaui batas dan berlebihan. Jika berlebihan, hingga dia menambah atau melenyapkan satu huruf, maka melagukan al-Qur`an diharamkan.
Para ulama sepakat ihwal diharamkannya mendengar alat musik petik dan tiup serta alat musik lainnya. Namun, para ulama mengatakan bahwa keharaman alat musik ini bukan karena wujudnya seperti keharaman khamr dan zina, tetapi karena unsur lain. Karena itu, para ulama mengecualikan tambur yang ditabuh saat berjihad dan dalam perjalanan ibadah haji. Jika alat musik diguanakn untuk senda gurau dan main-main, maka menjadi haram. Jika unsur-unsur permainannya hilang, hilang pula keharamannya.
Dalam al-‘Awarif diktakan: Adapun rebana, sebuah alat yang di kalangan Madzhab Syafi’i dibolehkan, sebaiknya ditinggalkan dan mengambil jalan hati-hati serta meninggalkan sesuatu yang masih diperselisihkan kehalalannya, terutama jika rebana disertai lempengan kaleng dan sejenisnya. Maka para ulama sepakat memakruhkan rebana yang demikian. Demikian dikatakan dalam al-Bustan.
Yang masih diperselisihkan ialah tentang mendengar puisi yang dilagukan dan dilantunkan. Jika puisi itu menceritakan wanita dan mendeskripsikan anggota tubuh seperti pipi dan dagu, maka pusi demikian dapat menimbulkan nafsu syahwat, sehingga tak pantas dilakukan oleh para pemeluk agama, terutama jika puisi itu disajikan dengan dinyanyikan dan dilagukan seperti yang dilakukan pemusik, penyanyi, dan pembuat kerusakan. Dalam al-Asybah, musik dikategorikan ke dalam ilmu-ilmu yang diharamkan seperti halnya filsafat, sulap, astrologi, dan selainnya.
Dia menciptakan langit tanpa tiang yang dapat kamu lihat dan Dia meletakkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. (QS. 31 Luqman: 10)
Khalaqa (Dia menciptakan), yakni Allah Ta’ala mengadakan.
As-samawati (langit) yang tujuh, Kursyi, dan ‘Arasy.
Bighairi ‘amadin (tanpa tiang). Yakni, Allah menciptakannya tanpa pilar dan benteng-benteng.
Taraunaha (yang dapat kamu lihat). Penggalan ini merupakan kalimat baru yang ditampilkan untuk membuktikan bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan langit tanpa tiang yang dapat mereka lihat atau tanpa sesuatu yang dapat disebut tiang. Atau penggalan ini merupakan sifat dari ‘amadin, sehingga maknanya: Dia menciptakannya tanpa tiang yang terlihat. Ketahuilah bahwa diamnya langit dan teguhnya bumi dalam tatanan semacam itu tanpa cela semata-mata karena kekuasaan Allah Ta’ala, Raja Yang Mahatinggi.
Wa alqa fil ardli rawasiya (dan Dia meletakkan gunung-gunung di bumi).
Ilq` berarti melemparkan sesuatu sehingga dapat terjangkau dan terlihat.
Rawasiya jamak dari rasiyatun yang berasal dari rasas syai` yang berarti sesuatu yang menancap. Yang dimaksud dengan rawasiya ialah gunung-gunung yang kokoh yang menghunjam ke bumi dan mengokohkan bumi. Gunung-gunung diserupakan – untuk menyepelekannya dan memandang jumlahnya yang sedikit, walaupun kenyataannya merupakan makhluk yang besar – dengan segenggam pasir di tangan seseorang, lalu dia melemparkannya ke tanah. Ayat ini semata-mata untuk menggambarkan keagungan dan kekuasaan Allah; dan bahwa setiap pekerjaan raksasa yang membuat keder manusia adalah sepele saja bagi-Nya.
Maksud ayat: Allah hanya berfirman kepada gunung, “Jadilah!” maka ia pun terjadi dan berada di bumi serta mengokohkannya setelah sebelumnya berayun-ayun dan berguncang. Tiada seorang pun tahu dari apa ia diciptakan.
An tamida bikum (supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu). Al-maidu berarti berguncangnya sesuatu yang besar seperti berguncangnya bumi. Makna ayat: karena Dia tidak suka jika bumi mengguncangkan kamu, sebab dapat dipastikan menimbulkan pertukaran dan peralihan tempat dan posisi.
Wabatstsa fiha min kulli dabbatin (dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang) yang jumlahnya banyak dan jenisnya beragam.
Wa anzalna minassama`I ma`an (dan Kami turunkan air hujan dari langit), yakni dari awan karena secara lughawi as-sama` berarti sesuatu yang ada di atasmu dan yang menaungimu.
Fa`ambatna fiha (lalu Kami tumbuhkan padanya), yakni pada bumi disebabkan air hujan tersebut. Peralihan kepada pemakaian nun mu’azhzham nafsah (Kami) bertujuan mementingkan urusan penurunan air dan penumbuhan tanaman.
Min kulli zaujin karimin (segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik), yakni segala kelompok yang banyak manfaatnya.
Ketahuilah – semoga Allah memberikan taufik kepada guna merenungkan aneka ciptaan-Nya yang mengagumkan dan kekuasaan-Nya yang mencengangkan – bahwa akal manusia menjadi sempit dan bingung dalam menghadapi berbagai keajaiban, karakteristik, kerugian, dan manfaat tanaman serta pepohonan. Bagaimana tidak bingung, sedang Anda melihat bentuknya yang berbeda-beda, warnanya berlainan, bentuk daunnya yang menakjubkan, dan harum bunganya. Setiap warna juga terbagai ke dalam beberapa bagian. Merah, misalnya, terbagi ke dalam merah mawar, ungu, merah khamr, merah anggur, merah akik, merah drah, dan sebagainya yang semuanya disebut merah.
Kemudian baunya juga menakjubkan dan satu sama lain berbeda, tetapi semuanya berbau harum. Demikian pula bentuk buahm biji, dan daunnya berbeda-beda. Masing-masing memiliki warna, bau, rasa, daun, buah, bunga, biji, dan karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tiada yang mengetahui hikmah perbedaan itu kecuali Allah. Apa yang diketahui manusia tentang tanaman hanyalah setets air dari samudra ilmu Tuhan.
Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata. (QS. 31 Luqman: 11)
Hadza (inilah), yakni langit, bumi, gunung, binatang, dan tumbuh-tumbuhan yang diceritakan tersebut.
Khalqullahi (ciptaan Allah), yakni diciptakan oleh-Nya.
Fa`aruni (maka perlihatkanlah olehmu kepadaku), hai kaum musyrikin.
Madza khalaqal ladzina min dunihi (apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan selain Allah) Ta’ala yang kalian jadikan sebagai sekutu-Nya dalam kegiatan penghambaan, sehingga sembahan itu berhak untuk disembah bersama-sama dengan Allah?
Balizh zhalimuna fi dlalalim mubinin (sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata). Penggalan ini mendokumentasikan kesesatan mereka yang nyata, sehingga tidak samar bagi siapa pun, setelah sebelumnya mereka dibungkam. Artinya, menjauhnya mereka dari kebenaran sangatlah nyata.
Ketahuilah bahwa tauhid merupakan amal yang paling utama sebagaimana syirik merupakan dosa yang paling besar. Tauhid memiliki cahaya, sebagaimana syirik memiliki api. Cahaya tauhid membakar berbagai keburukan orang yang bertauhid, sebagaimana api syirik membakar amal kebaikan orang musyrik.
Karena ketauhidan merupakan ibadah ibadah yang paling utama, sedang dzikrullah merupakan ibadah yang paling mendekatkan kepada-Nya, yang dapat dilakukan tanpa terikat oleh waktu dan masa, berbeda dengan amal lain seperti shaum dan shalat, maka untuk melepaskan diri dari kesesatan hanyalah dengan hidayah kepada ketauhidan dan keikhlasan ibadah hanya untuk Allah semata Yang Maha Terpuji.
Barangsiapa yang mengucapkan la ilaha illallah dan dia kafir terhadap perkara selain Allah Ta’ala, maka haramlah darah dan hartanya. Perhitungannya ada pada Allah di akhirat mengenai keikhlasan dan hal lainnya yang samar. Jika perkara selain Allah tidak mampu menciptakan apa pun dan memberikan pahala, maka tiada artinya mempersembahkan ibadah kepada perkara itu. Karena itu, hai Kaum Mu`minin, bergegaslah menuju Allah agar kalian menempati derajat orang-orang saleh.
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. 31 Luqman: 12)
Walaqad ataina luqmanal hikmata (dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman). Mayoritas ulama mengatakan bahwa Luqman sebagai ahli hikmah dalam pengobatan dan kebenaran. Di antara ungkapan hikmahnya ialah seperti berikut.
Jika sedang shalat, jagalah qalbumu.
Jika sedang makan, jagalah akhlakmu.
Jika tengah berada di rumah orang lain, jagalah kedua matamu.
Jika tengah berada di antara manusia, jagalah lidahmu.
Ingatlah yang dua dan lupakan yang dua. Dua hal yang mesti kamu ingat ialah Allah dan kematian.
Adapun dua hal yang mesti kamu lupakan ialah kebaikanmu kepada orang lain dan keburukan orang lain kepadamu.
Keberadaannya sebagai ahli hikmah dikuatkan oleh warna kulitnya yang hitam, sebab Allah tidak mengutus Nabi melainkan orang yang baik penampilannya dan suaranya.
Ulama lain berkata: Luqman bukan Nabi. Dia hanyalah seorang hamba yang banyak bertafakur dan memiliki keyakinan yang baik. Dia mencintai Allah, maka Allah mencintainya, lalu Dia memberinya hikmah. Hikmah ialah tutur kata yang selaras dengan kebenaran, pikiran yang selaras dengan hati, dan gerakan yang selaras dengan ketentuan. Jika bertutur, dia bertutur dengan hikmah. Jika merenung, dia merenung dengan hikmah. Jika bergerak, dia bergerak dengan hikmah.
Imam ar-Raghib berkata: Hikmah berarti diperolehnya kebenaran melalui ilmu dan tindakan. Hikmah yang ada pada Allah Ta’ala berarti Dia mengetahui aneka perkara dan mengadakannya untuk tujuan yang telah ditetapkan. Hikmah pada manusia berarti pengetahuan tentang segala yang maujud sebagaimana semestinya dan pelaksanaan aneka kebaikan. Kebenaran dan kebaikan inilah yang dipaparkan Luqman pada ayat ini.
Ihwal Hikmah
Imam al-Ghazali rahimahullahu Ta’ala berkata,
Barangsiapa yang mengetahui segala perkara, tetapi tidak mengetahui Allah, maka dia tidak berhak disebut Hakim, sebab dia tidak mengetahui perkara yang paling agung dan paling utama. Hikmah merupakan ilmu yang paling mulia. Kemuliaan ilmu tergantung pada kadar kemuliaan perkara yang dikajinya dan tiada perkara yang lebih agung daripada Allah. Jadi, barangsiapa yang mengetahui Allah, maka dia disebut Hakim, walaupun pemahamannya mengenai bidang-bidang ilmu lain itu lemah, lidahnya kelu, dan penjelasannya minim. Jika seseorang mengetahui Allah, niscaya tuturannya berbeda dengan orang lain, sebab dia tidak akan terganggu oleh kepentingan-kepentingan sesaat, tetapi terfokus pada keuntungan ukhrawi.
Tatkala pernyataan-pernyataan yang komprehensif lebih jelas bagi manusia – dan itu karena dia mengetahui Allah – maka orang-orang pun menyebut pernyataan demikian sebagai ungkapan hikmah dan orang yang menuturkannya disebut ahli hikmah. Ungkapan komprohensif itu seperti beberapa ungkapan nabi dan ahli hikmah berikut ini.
‘Hikmah ialah takut kepada Allah.
Sesuatu yang sedikit tetapi memadai lebih baik daripada yang banyak tetapi melalaikan.
Jadilah orang wara’, niscaya kamu menjadi manusia yang paling getol beribadah.
Jadilah orang takwa, niscaya menjadi manusia yang paling bersyukur.
Bencana diakibatkan oleh perkataan.
Orang bahagia ialah yang memperoleh nasihat melalui orang lain.
Qanaah ialah harta yang tida akan habis. Keyakinan berarti seluruh keimanan itu.’
Ungkapan-ungkapan di atas disebut hikmah. Orang yang melontarkannya disebut ahli hikmah. Hikmah merupakan pemberian bagi para ahli hikmah, sebagaimana halnya kenabian bukan merupakan sesuatu yang diupayakan, tetapi merupakan karunia Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Hikmah juga bukan hasil usaha yang diraih semata-mata berkat usaha hamba tanpa diajarkan oleh para nabi mengenai cara meraihnya. Namun, hikmah sebagai pemberian Allah yang pemerolehannya diajarkan oleh
Nabi saw. Kepada kita melalui sabdanya,
Barangsiapa yang beribadah dengan ikhlash karena Allah selama 40 hari, maka meluncurlah hikmah dari mulutnya yang bersumber dari qalbunya (HR. Abu Nu’aim).
Sebagaimana qalbu merupakan tempat turunnya wahyu, demikian pula qalbu merupakan tempat turunnya hikmah.
Allah Ta’ala berfirman,
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh dia telah diberi kebajikan yang banyak (al-Baqarah: 269).
Maka jelaslah bahwa hikmah merupakan anugrah, bukan hasil usaha; hikmah itu termasuk perkataan, bukan posisi. Pernyataan-pernyataan logis yang diistilahkan oleh para ahli hikmah dengan hikmah sebenarnya bukanlah hikmah, sebab pernyataan logis itu merupakan kesimpulan dari berpikir yang terlepas dari noda prasangka dan imajinasi. Pernyataan demikian dapat dimiliki baik oleh orang Muslim maupun orang kafir, dan sedikit sekali pernyataan yang tanpa noda. Karena itu dalil dan keyakinan mereka banyak mengandung kontradiksi.
Dalam ‘Ara`isul Bayan dikatakan: Hikmah ada tiga. Pertama, hikmah al-Qur`an, yaitu aneka hakikat al-Qur`an. Kedua, hikmah iman yaitu makrifat. Ketiga hikmah argumentasi, yaitu memahami aneka rahasia di balik ciptaan Allah yang terdapat dalam perilaku.
Seorang ulama berkata: Ada tiga ciri hikmah: menurunkan kedudukan diri dari pandangan orang lain, menurunkan kedudukan orang lain dari pandangan diri sendiri, dan menasihati orang lain selaras dengan kemampuan akalnya.
Al-Husein bin Manshur berkata: Hikmah merupakan anak panah, sedangkan qalbu Kaum Mukminin merupakan sasarannya.
Dikatakan:
Hikmah adalah cahaya yang memisahkan antara ilham dan waswas. Cahaya ini membuahkan fikiran dan nasihat di dalam qalbu, yang keduanya membuahkan kesedihan dan kesukacitaan.
Seorang ahli hikmah berkata: Kekuatan tubuh dengan minuman dan makanan, sedangkan kekuatan akal dengan hikmah dan ilmu. Hikmah merupakan perkara terbaik yang diberikan kepada hamba di dunia, sedangkan rahmat merupakan perkara terbaik yang diberikan di akhirat. Hikmah bagi akhlak bagaikan dokter bagi fisik.
Diriwayatkan dari Ali r.a. dia berkata, “Hiburlah qalbu ini dan carikan pemandangan hikmah untukny, sebab qalbu pun suka jemu sebagaimana fisik.”
Isa a.s. berkata, “Di manakah biji tumbuh?” Para sahabatnya menjawab, “Di tanah.” Dia berkata,
“Demikianlah hikmah. Ia tidak tumbuh kecuali di dalam qalbu yang seperti bumi; yaitu bumi yang menjadi tempat mata air.”
Tatkala hikmah merupakan karunia Allah Ta’ala yang diberikan kepada Luqman, dia dituntut untuk mensyukurinya melalui firman-Nya,
Anisykur lillahi (yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah). Yakni Kami berfirman kepada Luqman, “Bersyukurlah kepada Allah atas nikmat hikmah yang telah diberikan-Nya kepadamu.”
Waman yasykur (dan barangsiapa yang bersyukur) kepada Allah Ta’ala atas aneka nikmat-Nya.
Fa`innama yasykuru linafsihi (maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri) sebab manfaat syukur berupa kelestarian dan pertambahan nikmat akan berpulang kepada dirinya sendiri.
Waman kafara (dan barangsiapa yang tidak bersyukur) atas nikmat Allah, maka dia meraih bencana akibat keingkarannya.
Fa`innallaha ghaniyyun (maka sesungguhnya Allah Maha Kaya), maka Dia tidak membutuhkannya dan syukurnya.
Hamidun (lagi Maha Terpuji); terpuji zat, sifat, dan segala perbuatan-Nya, baik Dia dipuji dan disyukuri oleh hamba maupun diingkari.
Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. 31 Luqman: 13)
Wa`idz qala luqmanu (dan ingatlah ketika Luqman berkata). Hai Muhammad, ingatkan kepada kaummu tatkala Luqman berkata …
Libnihi (kepada anaknya, sedang dia), sedangkan Luqman…
Ya’izhuhu (menasihatinya), yakni menasihati anaknya. Al-wa’zhu berarti memperingatkan dengan kebaikan, sehingga dapat melunakkan hati.
Ya bunayya (hai anakku). Ya bunayya disajikan dalam bentuk tashghir untuk mengungkapkan kasih sayang dan kelembutan. Karena itu, dia menasihati anaknya dengan perkara yang akan membuatnya bahagia, jika dia melakukannya.
La tusyrik billahi (janganlah kamu mempersekutukan Allah), jangan menandingkan Allah dengan apa pun dalam kegiatan beribadah.
Innasy syirka lazhulmun ‘azhimun (sesungguhnya mempersekutukan adalah benar-benar kezaliman yang besar), sebab syirik berarti menyamakan zat yang tida nikmat kecuali dari Dia dengan zat yang tidak memberikan manfaat sedikit pun.
Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. 31 Luqman: 14)
Wawashshainal insana biwalidaihi (dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya). Penggalan ini merupakan aposisi di antara pesan Luqman, yang berfungsi menguatkan larangan syirik. Wasiat berarti menyuruh supaya memelihara dan melaksanakan sesuatu. Kemudian Luqman mengunggulkan ibu dan mengingatkan betapa besarnya hak dia. Dia berkata,
Hamalathu ummuhu wahnan (ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah). Al-wahnu berarti lemah dilihat dari segi fisik dan perilaku.
‘Ala wahnin (yang bertambah-tambah lemah), yakni semakin lemah, sebab semakin besar kandungannya, semakin lemahlah dia hingga akhirnya melahirkan.
Wa fishaluhu fi ‘amaini (dan menyapihnya dalam dua tahun). Fishal berarti memisah abayi dari menyusu yang dilakukan pada usia 2 tahun sejak dia dilahirkan. Dua tahun ini merupakan masa menyusui menurut Syafi’i. Tidak ada ketegasan tentang haramnya menyusu setelah dua tahun. Setelah dua tahun, menyusui anak mesti dianggap cukup. Dianjurkan menyusui selama dua tahun, namun boleh pula dua tahun setengah.
Anisykurli waliwalidaika (bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu). Penggalan ini merupakan penjelasan bagi washshainahu. Yakni, Kami berfirman kepadanya, “Bersyukurlah kepada-Ku!” Atau penggalan ini merupakan alasan bagi washshainahu, sehingga maknanya, “supaya dia bersyukur kepada-Ku.” Ungkapan yang ada antara washshaina dan anisykurli merupakan aposisi yang menguatkan wasiat yang ditujukan secara khusus berkenaan dengan hak ibu. Karena itu, terhadap orang yang bertanya, “Kepada siapakah aku berbuat baik?”, Nabi saw. menjawab, “Kepada ibumu, kemudian kepada ibumu, kemudian kepada ibumu”. Setelah itu, barulah beliau bersabda, “Kepada bapakmu.”
Makna ayat: Bersyukurlah kepada-Ku karena aku telah mengadakanmu dan menunjukkanmu dengan agama Islam serta bersyukur pula kepada kedua orang tuamu yang telah merawatmu ketika kecil. Bersyukur kepada al-Haq dengan mengagungkan dan memuliakan-Nya, sedangkan bersyukur kepada kedua orang tua dengan mengasihi dan menghormatinya.
Dalam Syarhul Hikam ditegaskan: Syukur kepada ibu bapak digandengkan dengan syukur kepada Allah sebab keduanya merupakan asal wujudmu yang bersifat majazi sebagaimana asal wujudmu yang hakiki ialah karunia dan kemurahan-Nya. Maka persembahkanlah hakikat syukur kepada-Nya sebab nikmat yang hakiki itu dari Dia, sedangkan bagi selainnya hanyalah syukur majazi karena yang diberikan pun nikmat majazi.
Dalam sebuah Hadits ditegaskan,
Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Ilayyal mashiru (hanya kepada-Kulah kembalimu). Penggalan ini sebagai alasan atas kewajiban melaksanakan perintah. Yakni, kepada Aku-lah kembali, bukan kepada selain-Ku. Maka Aku membalas syukurmu atau keingkaranmu.
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Barangsiapa yang mendirikan shalat yang lima waktu, berarti dia telah bersyukur kepada Allah. Barangsiapa yang mendoakan kedua orang tuanya selepas shalat lima waktu, berarti dia telah berterima kasih kepada kedua orang tuanya.”
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. 31 Luqman: 15)
Wa`in jahadaka (dan jika keduanya memaksamu). Mujahadah berarti mengerahkan upaya dalam membela diri dari musuh. Makna ayat: Kami berfirman kepada manusia, “Jika kedua orang tuamu berupaya keras dan menyeretmu…”
‘Ala antusyrika bi ma laisa laka bihi ‘ilmu (untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu) dengan menyekutukan Allah Ta’ala dalam hal sama-sama berhak disembah bersama selain-Nya.
Fala tuthi’huma (maka janganlah kamu mengikuti keduanya) dalam hal menyekutukan. Maksudnya, meskipun berkhidmat kepada kedua orang tua itu penting, tetapi tidak boleh menaati keduanya dalam hal kemaksiatan.
Washahibhuma fiddunya ma’rufan (dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik) dan dengan pergaulan yang indah serta selaras dengan syari’at dan tuntutan kemuliaah akhlak. Maka seorang muslim wajib memberikan nafkah, berbuat baik, melayani, dan mengunjungi kedua orang tuanya, meskipun keduanya kafir. Jika dia khawatir akan diseret oleh keduanya ke dalam kekafiran, maka dalam kondisi demikian dia tidak boleh mengunjunginya, tidak boleh menuntunnya pergi ke gereja sebab merupakan kemaksiatan, tetapi perlu menuntunnya pulang dari gereja.
Wattabi’ sabila man anaba ilayya (dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku) dengan ketauhidan dan keikhlasan dalam melakukan ketaatan. Mereka adalah Kaum Mu`minin yang sempurna.
Tsumma ilayya marji’ukum (kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu), yakni kamu dan kedua orang tuamu dikembalikan kepada-Nya.
Fa`unabbi`ukum (maka Ku-beritakan kepadamu), saat kamu kembali.
Bima kuntum ta’maluna (apa yang telah kamu kerjakan) dengan membalas kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh kamu masing-masing.
Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Sa’ad bin Abi Waqash r.a.,
yaitu salah satu dari 10 orang yang diberi kabar gembira saat masuk Islam. Ibunya bersumpah tidak akan makan dan minum sebelum Sa’ad meninggalkan Islam.
Ketahuilah bahwa kewajiban terpenting setelah bertauhid ialah berbuat baik kepada kedua orang tua. Dikisahkan bahwa seseorang berkata kepada Umar r.a., “Ibuku telah pikun. Maka aku memberinya makan dan minum serta mewudhukannya. Apakah aku telah memenuhi haknya?” Umar menjawab, “Belum!” “Mengapa?” tanya dia. “Sebab dia melayanimu saat engkau lemah dan dia menghendaki dirimu hidup, sedang kamu melayaninya dengan harapan dia segera mati.”
Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar bahwa sekelompok orang bepergian jauh, lalu mereka singgah di sebuah pulau. Di malam hari mereka mendengar ringkikan keledai hingga tidak dapat tidur semalaman. Ketiga pagi tiba, mereka melihat sebuah rumah yang dihuni seorang nenek. Mereka bertanya, “Semalam kami mendengar ringkikan keledai.” Si nenek berkata, “Itu suara anakku. Dia pernah berkata kepadaku, ‘Hai keledai betina!’ Maka aku berdoa kepada Allah kiranya Dia menjadikannya sebagai keledai. Maka dia terus meringkik sepanjang malam.”
Ayat di atas juga melarang bergaul dengan kaum kafir dan fasik dan mendorong supaya bergaul dengan kaum shalihin sebab kebersamaan itu berpengaruh, tabi’at saling tertarik, dan penyakit menjalar; agar perilaku mereka yang buruk dan tindak-tanduknya yang jahat tidak menjalar melalui pergaulan.
Ibrahim al-Khawash berkata: Penyakit qalbu ada lima: membaca al-Qur`an dengan merenungkan maknanya, mengosongkan perut, shalat malam, merendahkan diri kepada Allah waktu dini hari, dan bergaul dengan kaum shalihin.”
“Hai anakku, sesungguhnya jika ada yang seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS. 31 Luqman: 16)
Ya bunayya (hai anakku). Allah mulai menceritakan wasiat Luqman selanjutnya setelah menegaskan larangan syirik pada permulaan ayat.
Innaha (sesungguhnya) suatu perkara, baik berupa kebaikan maupun keburukan. Muqatil berkata, “Anak Luqman bertanya kepada ayahnya, ‘Jika aku melakukan keburukan yang tidak diketahui oleh siapa pun, apakah Allah mengetahuinya?’ Maka Luqman menjawab dan berkata, “Anakku, sesungguhnya kesalahan itu …”
In taku mitsqala habbatim min khardalin (jika ada yang seberat biji sawi). Mitsqal berarti timbangan benda yang beratnya sama dengan benda lain. Makna ayat: seberat timbangan benda terkecil seperti biji sawi yang merupakan biji-bijian yang paling kecil.
Fatakun (dan berada). Di samping benda itu amat sangat kecil, ia pun berada…
Fi shakhratin (dalam batu), yakni berada di tempat yang paling tersembunyi dan terlindungi, misalnya di dalam batu besar.
Au fissamawai (atau di langit) yang demikian jauh.
Au filardli (atau di dalam bumi) yang demikian luas dan lapang. Ada pula yang menafsirkan dengan alam bawah seperti dasar bumi.
Ya`ti bihallahu (niscaya Allah akan mendatangkannya), lalu Dia menghisabnya, sebab barangsiapa yang melakukan kebaikan sebesar zarah, niscaya dia akan melihatnya dan barangsiapa yang melakukan keburukan sebesar zarah, niscaya dia melihatnya.
Innalaaha (sesungguhnya Allah). Ini merupakan perkataan Luqman.
Lathifun (Maha Halus), sehingga pengetahuan-Nya menjangkau segala hal yang samar. Salah satu makna al-Lathif ialah Yang Mengetahui aneka perkara yang tersembunyi. Barangsiapa yang mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui segala hal yang samar dan tersembunyi, maka dia akan waspada dalam berperilaku.
Khabirun (lagi Maha Mengetahui), Mahatahu hakikat sesuatu. Al-Khabir berarti Yang Maha Mengetahui rincian aneka perkara. Barangsiapa yang mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui rincian aneka perkara, maka dia akan meninggalkan riya dan kepura-puraan dalam berbuat, tetapi dia akan berbuat ikhlash untuk Dia semata sebab tiada satu perkara pun yang samar bagi-Nya, baik sesuatu itu berada di langit maupun di bumi.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan. (QS. 31 Luqman: 17)
Ya bunayya aqimish shalata (hai anakku, dirikanlah shalat), sebagai ibadat yang paling sempurna, guna menyempurnakan amal diri, setelah diri disempurnakan dengan ilmu dan keyakinan.
Makna ayat:
Dirikanlah shalat dengan melestarikannya. Pelestariannya ialah dengan menjauhkan diri dari perbuatan keji dan ingkar, sebab Allah menerangkan shalat sebagai ibadah yang mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Jika seseorang menjauhkan diri dari keduanya, berarti dia tengah shalat, meskipun dia tidak melakukan gerakannya. Jika tidak menghentikan perbuatan keji dan ingkar, berarti dia tidak melaksanakan shalat, walaupun lahiriahnya shalat. Shaum dan riyadlah untuk memperbaiki tabiat dan memperindah perilaku, sedangkan shalat untuk memperbaiki nafsu yang merupakan sarang segala kejahatan dan sumber hawa nafsu. Tiada sembahan yang paling dibenci Allah kecuali hawa nafsu.
Wa`mur bilma’rufi (dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik), yakni sesuatu yang dianggap baik oleh syari’at dan akal. Hakikat ma’ruf ialah sesuatu yang mengantarkan hamba kepada Allah.
Wanha ‘anil mungkari (dan cegahlah dari perbuatan yang mungkar), yakni dari sesuatu yang dianggap buruk oleh syari’at dan akal. Hakikat mungkar ialah sesuatu yang melalaikan manusia dari Allah.
Washbir (dan bersabarlah). Sabar berarti menahan dan mencegah diri dari perkara yang dilarang syari’at.
‘Ala ma ashabaka (terhadap apa yang menimpa kamu) berupa kesulitan dan ujian seperti berbagai penyakit, kemiskinan, kebingungan, dan kedukaan, terutama saat melaksanakan amar ma’ruf nahyi mungkar. Biasanya timbul gangguan terhadap orang yang menyuruh dan mendorong kepada kebaikan; orang yang melarang dan menjauhkan dari keburukan.
Inna dzalika (sesungguhnya yang demikian itu), yakni pesan-pesan berupa perintah, larangan, dan kesabaran.
Min ‘azmil umuri (termasuk hal-hal yang diwajibkan). ‘Azimah berarti tekad hati untuk melakukan sesuatu, ‘Azmil umur berarti sesuatu yang tidak terkontaminasi oleh kekeliruan dan tak terbantahkan oleh keraguan.
Nabi saw. berdoa,
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu hal-hal yang memastikan diraihnya rahmat-Mu dan yang memastikan diraihnya ampunan-Mu.
Maksudnya, aku memohon kepada-Mu kiranya Engkau memberiku taufik untuk melakukan berbagai amal yang memastikan pelakunya mendapatkan ampunan.
Makna ayat: hal itu termasuk perkara yang ditekadkan, dipastikan, dan difardukan. Artinya, perkara yang telah diputuskan Allah sebagai kewajiban dan diperintahkan-Nya kepada hamba-hamba sebagai perintah yang pasti.
Ayat di atas menunjukkan pentingnya berbagai ketaatan tersebut dan syari’at terdahulu pun telah mendorong manusia agar melakukannya; juga menerangkan kepada umat ini bahwa barangsiapa yang menyuruh kepada kemakrufan dan melarang dari kemungkaran, selayaknya dia bersabar atas apa yang menimpa sebagai suatu akibat, jika suruhan dan larangannya dilakukan karena Allah, sebab dia menerimanya dalam kerangka zat Allah dan urusan-Nya.
Dan janganlah memalingkan muka dari manusia dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
(QS. 31 Luqman: 18)
Wala tusha’ir khaddaka linnasi (dan janganlah memalingkan muka dari manusia).
At-tasha’ur berarti membelokkan dan menyondongkan leher, baik karena kebiasaan, penyakit, atau karena sombong.
Rash’ir berarti memalingkan pandangan karena sombong.
Makna ayat: Hadapilah manusia dengan seluruh wajahmu sebagai sikap rendah hati, janganlah memalingkan wajah dari mereka, dan janganlah menutupi sebagian wajahmu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum yang sombong yang meremehkan orang lain, terutama orang miskin.
Hendaklah orang kaya dan miskin diperlakukan sama baiknya.
Wala tamsyi fil ardli marahan (dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh). Al-marhu berarti kegembiraan yang berlebihan seperti orang congkak. Makna ayat: janganlah berjalan dalam keadaan kamu sangat bergembira, sangat gesit, ujub, dan melecehkan.
Innallaha la yuhibbu kulla mukhtalin (sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong). Ikhtiyal berarti menyombongkan diri karena membayangkan kelebihan. Yakni, Allah tidak menyukai orang congkak dan yang berjalan dengan berlagak, bahkan Dia memurkai-Nya.
Fakhurin (lagi membanggakan diri). Al-fakhru ialah membanggakan suatu perkara seperti harta dan kepangkatan.
Fakhur ialah orang yang menghitung-hitung jumlah kekayaannya dan kelebihannya, lalu melecehkan orang lain yang tidak memilikinya.
Dalam sebuah Hadits dikatakan,
Tatkala seseorang berjalan menyombongkan diri di suatu tempat pada masa jahiliah, tiba-tiba Allah menyuruh bumi menangkapnya. Maka sekarang dia terus melesak ke dalam bumi hingga kiamat.
(HR. Ahmad dan Syaikhani).
Seorang ahli hikmah berkata: Jika kamu membanggakan kudamu, sesuangguhnya keindahan dan kecantikan adalah milik kuda, bukan milikmu. Jika membanggakan pakaian dan perabotanmu, sebenarnya kecantikan itu milik pakaianmu, bukan milikmu. Jika kamu menyombongkan nenek moyangmu, sebenarnya kelebihan itu milik mereka, bukan milikmu. Kalaulah benda-benda itu dapat berbicara, niscaya berkata, “Ini adalah kebaikan kami. Tidak ada satu pun kebaikanmu. Jika kamu mau berbangga, banggakanlah apa yang kamu miliki, bukan yang ada di luar dirimu. Jika kamu terkesan oleh suatu jenis dunia, ingatlah akan kefanaanmu dan kebaqaan dunia, atau kefanaan kamu dan dunia sekaligus. Jika milikmu memperbudak kamu, ingatlah bahwa ia akan segera lepas dari tanganmu, takkan segera kembali kepadamu, tetapi kamu akan lama dihisab karenanya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir.
Dikisahkan bahwa seorang raja memperoleh hadiah bejana yang terbuat dari batu Fairuz yang bertatahkan permata dan indahnya tiada tara. Ia membuat raja sangat gembira. Dia berkata kepada ahli hikmah yang ada di sekitarnya, “Bagaimana menurutmu wadah ini?” Ahli hikmah berkata, “Aku memandang wadah itu sebagai kemiskinan yang nyata dan musibah yang segera tiba.” “Mengapa demikian?” tanya raja. Ahli hikmah berkata, “Jika pecah, maka merupakan musibah yang tak dapat ditambal. Jika dicuri, maka Anda menjadi miskin, padahal sebelum diberikan kepadamu, engkau aman dari musibah dan kemiskinan.” Kebetulan suatu hari bejana itu pecah, maka menimbulkan musibah yang besar bagi raja. Dia bergumam, “Benarlah ucapan ahli hikmah. Andaikan aku tidak memperolehnya.”
Penyair bersenandung,
Dunia seperti mimpi yang menyenangkan
Pelakunya sesaat, lalu mimpi pun berlalu
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. 31 Luqman: 19)
Waqshid fi masyyika (dan sederhanalah kamu dalam berjalan). Al-qashdu adalah lawan dari berlebihan dan ekstrim.
Makna ayat: berjalanlah dengan sedang, tidak terlampau lambat dan tidak cepat-cepat. Janganlah berjalan seperti orang zuhud yang menampakkan kelemahan bagaikan mayat, yaitu orang-orang riya yang sia-sia upayanya. Jangan pula berjalan seperti pejalan cepat dan langkahnya, tetapi engkau hendaknya berjalan dengan tenang dan tertib.
Cepatnya berjalan menghilangkan keanggunan seorang Mu`min.
Waghdludl min shautika (dan lunakkanlah suaramu). Yakni kurangilah volume suaramu dan rendahkanlah ia saat berdialog dan berbicara, terutama ketika berdoa dan bermunajat. Hal ini pula yang dipesankan Allah kepada Isa bin Maryam di dalam Injil. Allah berfirman, “Suruhlah hamba-Ku bahwa jika mereka berdoa kepada-Ku, hendaklah merendahkan suaranya, karena Aku mendengar dan mengetahui isi hati mereka.” Dari ketentuan ini dikecualikan bersuara keras untuk menggentarkan musuh dan sejenisnya.
Dalam al-Khulashah dikatakan: Imam jangan bersuara keras dengan melebihi kebutuhan. Jika keras, berarti dia berbuat buruk.
Perbedaan antara makruh dan buruk ialah bahwa makruh lebih keras daripada buruk. Muadzin boleh mengeraskan suara guna menyampaikan takbir intiqal bagi makmum yang jauh dari imam sebab hal demikian bermanfaat. Namun, jika suara imam keras, maka perbuatan muazin mengeraskan suara merupakan bid’ah mungkar. Demikianlah kesepakatan para ulama. Yang dimaksud dengan “mungkar” ialah dimakruhkan.
Imam an-Nawawi telah mengkompromikan kelompok hadits yang berkenaan dengan dianjurkannya dzikir dengan bersuara keras dan dianjurkannya dzikir dengan suara lembut. Dia menyimpulkan bahwa dzikir dengan suara perlahan lebih baik jika dapat meredam riya dan tidak mengganggu orang yang shalat atau tidur. Dzikir dengan keras dalam konteks selain itu adalah lebih baik, dan cara inilah yang banyak dipraktikkan, dan karena manfaatnya merembet ke para pendengar.
Dzikir dengan keras dapat menggairahkan qalbu orang yang berdzikir, memusatkan fikirannya, membuat telinganya peka, mengusir kantuk, dan membuat orang semakin gesit.
Apabila Nabi saw. Selesai shalat, beliau membaca dzikir berikut dengan keras,
Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Kepunyaan Dia-lah segala kerajaan dan pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Dalam sebuah kisah dikemukakan bahwa al-Hajaj bertanya kepada salah seorang temannya tentang suara yang paling menyentuh qalbu. Lalu salah seorang di antara mereka berkata, “Aku tidak pernah mendengar suara yang lebih menyentuh daripada suara pembaca Kitab Allah di keheningan malam sedang dia memiliki suara yang.” “Ya, itu memang baik” kata al-Hajaj. Yang lain berkata, “Aku belum pernah mendengar suara yang paling mengesankan daripada saat aku meninggalkan istriku yang sedang mengejan, sedang aku pergi ke mesjid dini hari. Lalu seseorang datang memberitahukan bahwa anakku seorang laki-laki.”
Al-Hajaj berkata, “Alangkah indahnya.” Kemudian Syu’bah at-Tamimi berkata, “Bukan demikian, demi Allah, tidak pernah aku mendengar suara yang paling mengagumkanku kecuali saat aku lapar lalu aku mendengar suara air bergolak dalam kuali.” Al-Hjaj berkata, “Hai Bani Tamim, kegemaranmu hanya perbekalan dan makanan.”
Inna ankaral ashwati (sesungguhnya seburuk-buruk suara) menurut pertimbangan dan keputusan akal sehat
Lashutul hamiri (ialah suara keledai). Hamir jamak dari himar yang berarti keledai. Abu Laits berkata: Suara keledai dikenal di kalangan bangsa Arab dan bangsa lain dengan suaranya yang buruk. Memang ada binatang lain yang suaranya lebih buruk daripada keledai. Namun, Allah menjelaskan dengan suara keledai yang keburukannya dikenal di kalangan manusia lantaran berupa helaan nafas dan pengeluarannya seperti halnya suara penghuni neraka. Orang yang mendengarnya merasa ngeri lalu dia menjauhi.
Makna ayat: Sesungguhnya suara manusia yang paling dibenci saat mereka bersuara atau berbicara adalah suara orang yang bersuara seperti keledai. Yakni, orang yang meninggikan suaranya seperti yang dilakukan keledai. Pada ayat ini orang-orang yang meninggikan suaranya dengan melebihi keperluan diserupakan dengan suara keledai; suara mereka diserupakan dengan ringkikan. Lalu dari ayat itu dibuang kata seperti sehingga bentuknya menjadi isti’arah (metafora). Mereka dipandang sebagai keledai dan suaranya sebagai ringkikan. Cara penyajian demikian untuk mencela mereka dengan keras dan menyangatkan larangan meninggikan suara dengan melebihi kebutuhan. Juga mengingatkan bahwa bersuara keras termasuk perkara yang dibenci Allah, bukan yang disukai.
Sufyan Tsauri berkata: Suara segala benda merupakan tasbih kecuali suara keledai, sebab ia berteriak karena melihat setan. Karena itu, suaranya diingkari. Dalam Hadits dikatakan,
Jika kamu mendengar ringkikan keledai, berlindunglah kepada Allah dari setan sebab keledai itu melihat setan. Jika kamu mendengar kokok ayam jantan, mintalah sebagian karunia Allah sebab ayam itu melihat malaikat (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Hadits di atas menunjukkan turunnya rahmat saat hadirnya pembuat kemaslahatan, sehingga dianjurkan berdoa pada saat itu. Juga menunjukkan turunnya kemurkaan kepada pelaku maksiat, sehingga dianjurkan berlindung kepada Allah. Demikianlah dikatakan dalam Syarhul Masyariq karya Ibnu Malik.
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. (QS. 31 Luqman: 20)
Alam tarau (tidakkah kamu perhatikan), tidakkah kamu mengetahui, hai Bani Adam!
Annallaha sakhkhara lakum (sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu). Taskhir berarti menggiring sesuatu secara paksa ke tujuan yang ditentukan baginya.
Ma fissamawati (apa yang di langit) berupa bintang-bintang yang bergerak seperti matahari, bulan, dan selainnya; berupa malaikat muqarrabin dengan menjadikannya sebagai sarana yang kamu gunakan dalam meraih keuntungan dan tujuanmu. Penaklukan bintang berarti Allah Ta’ala menjalankannya pada buruj di atas falak. Dia mengatur bahwa setiap bintang memiliki falak, menentukan aneka jenis hubungan, dan menjadikannya sebagai pengatur alam waktu alam bawah seperti musim dingin, musim panas, musim gugur, dan musim semi; mengatur keadaan tempat seperti tempat barang tambang, tumbuhan, binatang, dan pemukiman manusia. Pengaturan itu melahirkan berbagai keadaan selaras dengan pergerakan bintang-bintang yang terus-menerus untuk keuntungan dan kemaslahatan manusia.
Penaklukan Allah atas malaikat berarti karena kesempurnaan kekuasaan dan hikmah-Nya, Dia menugaskan sekelompok malaikat untuk menangani dan membantu sekelompok makhluk yang diatur, misalnya ada malaikat yang diberi tugas menangani matahari, bulan, bintang, dan angkasa; ada yang bertugas menangani awan dan hujan; malaikat yang mencatat aneka perilaku manusia, dan malaikat yang mengawasi manusia dari depan dan belakang serta menjaganya atas perintah Allah, bahkan Allah mengutus malaikat yang menangani rahim. Jika nuthfah laki-laki masuk ke dalam rahim, malaikat mengambilnya dengan tangan kanan. Jika nuthfah perempuan keluar, malaikat mengambilnya dengan tangan kiri. Jika dia diperintah untuk mencampurkannya, dia pun melakukannya. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah,
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur (al-Insan: 2).
Para malaikat yang menangani surga dan neraka ditundukkan bagi kemaslahatan dan keuntungan manusia, bahkan surga dan neraka diciptakan untuk mengiming-iming dan menakut-nakuti, lalu mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan cemas dan penuh harap.
Wama fil ardli (dan apa yang di bumi) berupa gunung, padang sahara, lautan, sungai-sungai, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan barang tambang. Dia menempatkanmu sehingga dapat memanfaatkan semua itu melalui perantara atau tidak melalui perantara.
Wa asbagha ‘alaikum ni’amahu (dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya). Asal makna ni’mah ialah keadaan yang baik yang dirasakan lezat oleh manusia. Kemudian kata ni’mah dikenakan pada hal-hal lezat yang selaras dengan tabi’at, yang mengantarkan manusia kepada kondisi yang baik.
Zhahiratan (lahir), yakni: sedang keadaan nikmat itu dapat diindra dan dilihat misalnya penampilan yang tampan, postur yang baik, kesempurnaan anggota tubuh, dan indra lahiriah seperti telinga dan mata, pnciuman dan perasaan, perabaan dan tuturan, lisan, rizki, harta, kepangkatan, pelayan, anak-anak, kesehatan, kesejahteraan, keamanan, dan popularitas.
Wa bathinatan (dan batin), yakni nikmat yang logis, yang tidak dapat diindra seperti peniupan ruh ke badan, kemuliaan badan dengan akal, pemahaman, penyucian diri dari aneka kehinaan, dan menghiasi qalbu dengan aneka keutamaan. Karena itu, dalam Hadits dikatakan, Ya Allah, baguskanlah akhlukku sebagaimana Engkau telah membaguskan tubuhku.
Waminannasi (dan di antara manusia), yakni sebagian manusia.
Man yujadilu (ada yang membantah), yakni berdebat. Diktakan Jadalta al-habla, jika Anda menguatkan pintalannya. Dari pengertian ini muncul kata al-jadal, karena seolah-olah kedua pihak yang berdebat memintal dan menguatkan pendapatnya dari serangan pihak lain.
Fillahi (tentang Allah), tentang meng-Esakan-Nya dan sifat-sifat-Nya. Orang itu condong kepada syirik sehingga dia mengatakan bahwa malaikat itu merupakan anak perempuan Allah dan bahwa berhala-berhala itu sebagai sekutu Allah.
Bighairi ‘ilmin (tanpa ilmu pengetahuan) yang diperoleh dari dalil.
Wala hudan (atau petunjuk) dari pihak Rasul.
Wala kitabin (dan tanpa Kitab) yang diturunkan Allah Ta’ala.
Munirin (yang memberi penerangan) kepadanya dengan hujjag. Namun, dia mendebat karena ikut-ikutan.
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab, “Tidak, tapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikutinya, walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala? (QS. 31 Luqman: 21)
Wa idza qila lahum (dan apabila dikatakan kepada mereka), yakni kepada orang yang mendebat.
Ittabi’u ma anzalallahu (ikutilah apa yang diturunkan Allah) kepada Nabi-Nya, yaitu al-Qur`an yang terang, bercahaya, dan jelas. Maka berimanlah kepadanya.
Qalu bal nattabi’u ma wajadna ‘alaihi aba`ana (mereka menjawab, “Tidak, tapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”) dahulu. Yang mereka maksud ialah penyembahan kepada berhala. Allah Ta’ala menanggapi mereka,
Awalau kanas syaithanu yad’uhum (dan apakah mereka akan mengikutinya, walaupun syaitan itu menyeru mereka). Pertanyaan ini bermakna ingkar dan takjub atas kemustahilan seruan setan menurut akal. Makna ayat: Apakah mereka akan tetap mengikutinya, walaupun setan itu mengajak kepada kemusyrikan?
Ila ‘adzabis sa’iri (ke dalam siksa api yang menyala-nyala). Mereka memenuhi apa yang diserukan setan. Sa’ir berarti api yang menyala-nyala. ‘Adzabis sa’ir berarti azab api yang sangat panas.
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. (QS. 31 Luqman: 22)
Wamay yuslim wajhahu ilallahi (dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah) seperti penyerahan bahan kepada seorang tukang, yaitu dia menyerahkan persoalannya kepada Allah dan menghadapkan diri kepada-Nya secara total…
Wahuwa muhsinun (sedang dia orang yang berbuat kebaikan), yakni melakukan amal dengan cara yang layak; amal yang bagus lahiriahnya yang memastikan kebagusan batiniahnya. Karena itu, Nabi saw. Menjelaskan ihsan sebagai beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Walaupun tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.
Faqadistamsaka bil’urwatil wutsqa (maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpul tali yang kokoh). Memegang sesuatu artinya bergantung kepada sesuatu dan memeliharanya. ‘Urwah ialah sesuatu yang diganduli. Makna ayat: Berarti dia bergantung kepada serana uluran tambang yang paling kokoh untuk diganduli. Penggalan ini menyerupakan keadaan orang yang bertawakal dan menyibukkan diri dalam ketaatan dengan keadaan orang yang bermaksud naik ke puncak gunung, lalu dia berpegang pada uluran tali yang paling kuat, sehingga dia tidak takut putus.
Wa ilallahi (dan hanya kepada Allah-lah), bukan kepada siapa pun selain-Nya.
‘Aqibatul umuri (kesudahan segala urusan) orang yang bertawakal dan urusan selainnya, lalu Dia membalasnya dengan balasan yang paling baik.
Dan barangsiapa yang kafir maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (QS. 31 Luqman: 23)
Waman kafara fala yahzunka kufruhu (dan barangsiapa yang kafir maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu), sebab dia tidak akan memadaratkanmu baik di dunia dan di akhirat.
Ilaina (hanya kepada Kami-lah), bukan kepada selain Kami.
Marji’uhum (mereka kembali). Yang dimaksud dengan kembali kepada Allah ialah kembali kepada Zat yang tiada lagi Hakim dan Penguasa kecuali Dia.
Fanunabbi`uhum bima ‘amilu (lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan) di dunia seperti kekafiran dan kemaksiatan; diberitahukan bahwa akan mendapat azab dan hukuman.
Innallaha ‘alimum bidzatish shuduri (sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati) dan niat yang ada dalam qalbu, lalu isi hati ini dibalas seperti halnya membalas amal-amal yang nyata.
Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka ke dalam siksa yang keras. (QS. 31 Luqman: 24)
Numatti’uhum (Kami biarkan mereka bersenang-senang), Kami biarkan kaum kafir menikmati berbagai keuntungan dunia.
Qalilan (sebentar), yakni dengan kesenangan yang singkat atau sedikit, sebab jika sesuatu yang sirna dibandingkan dengan sesuatu yang kekal, ia adalah sedikit.
Tsumma nadltharruhum (kemudian Kami paksa mereka), yakni di akhirat Kami akan menyeret dan menarik mereka secara paksa.
Ila ‘adzabin ghalizhin (ke dalam siksa yang keras), yang membebani mereka seperti dengan beban berat.
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah”. Katakanlah, “Segala puji bagi Allah”. Namun, kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. 31 Luqman: 25)
Wala`in sa`altahum (dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka), kepada kaum kafir.
Man khalaqas samawati wal ardla (siapakah yang menciptakan langit dan bumi?) Yakni yang menciptakan benda-benda atas dan bawah.
Layaqulunna (tentu mereka akan menjawab) bahwa yang telah menciptakannya adalah …
Allahu (Allah) karena persoalannya demikian jelas, sehingga mereka terpaksa mengakuinya.
Qulilhamdu lillahi (katakanlah, “Segala puji bagi Allah”) Yang telah menjadikan berbagai dalil ketauhidan sehingga kaum yang congkak itu sendiri tidak dapat mengingkarinya.
Bal aktsaruhum la ya’lamuna (namun, kebanyakan mereka tidak mengetahui) apa pun. Karena itu, mereka tidak mengamalkan tuntutan dari pengakuannya, yaitu meninggalkan kemusyrikan dan menyembah Allah Yang Esa.
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. 31 Luqman: 26)
Lillahi ma fissamawati wal ardli (kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan yang di bumi). Maka tiada yang berhak diibadati pada keduanya kecuali Allah.
Innallaha huwal ghaniyyu (sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya) zat dan sifat-Nya, baik sebelum menciptakan langit dan bumi, maupun sesudahnya. Keberadaan dan kesempurnaan zat-Nya itu tidak memerlukan apa pun. Kata huwa untuk memfokuskan, yakni Dia-lah semata Yang Mahakaya; tiada yang kaya kecuali Dia. Tafsiran ini didukung oleh firman Allah,
Allah-lah Yang Mahakaya, sedang kamu adalah orang yang miskin.
Al-hamidu (lagi Maha Terpuji) zat dan sifat-Nya. Jika tiada yang memuji-Nya, Dia tetap Maha Terpuji.
Ayat di atas mengandung beberapa masalah :
Pertama, bahwa menyerahkan segala persoalan, bertawakal, memiliki tujuan yang ikhlash, berpaling dari segala perkara selain Allah, dan menghadapkan diri kepada Allah dengan ketauhidan dan ibadah merupakan hal-hal yang memastikan perolehan hasil yang baik berupa surga, kedekatan, dan pencapaian. Sebaliknya, kekafiran, kemusyrikan, riya, dan sum’ah merupakan perkara yang memastikan perolehan hasil yang buruk, yaitu neraka, azab yang berat, perceraian, dan keterputusan hubungan. Jadi, berpegang teguh kepada hukum-hukum agama merupakan tali yang kokoh bagi kaum yang yakin, sebab ia takkan putus. Berbeda dengan tali-tali lainnya.
Kedua, bahwa usia dunia itu tidaklah kekal. Ia hanyalah sesaat. Maka orang yang berakal tidak boleh tertipu dengan kesenangan yang sedikit, tetapi dia mesti mempersiapkan diri untuk menghadapi hari yang panjang.
Ketiga, bahwasanya Allah Ta’ala telah menetapkan berbagai takdir dan mengatur segala urusan. Maka segala sesuatu, baik berupa perbuatan maupun perkataan, berlangsung selaras dengan qadha dan qadar Allah. Juru nasihat hanyalah menyampaikan ajaran, bukan memaksakan ajaran itu, sebab batu tak dapat diubah menjadi cermin dengan cara diasah.
Keempat, bahwa Allah menciptakan makhluk supaya mereka meraih keuntungan dari-Nya, bukan supaya Dia meraih keuntungan dari mereka. Jadi, manfaat dari ketaatan dan ibadah berpulang kepada hmba, bukan kepada Allah Ta’ala, sebab Dia tidak memerlukan semesta alam. Dia tidak beroleh manfaat dari ketaatan mereka dan tidak beroleh madarat karena kemaksiatan mereka. Justru Dia memberi mereka anugrah dengan menunjukkan kepada keimanan dan ketaatan, dan mereka tidak memberi anugrah kepada-Nya dengan keislamannya itu. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang ikhlash; semoga Dia memelihara kita di dalam benteng-Nya yang kokoh.
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut menjadi tinta, ditambahkan kepadanya tujuh laut lagi sesudah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 31 Luqman: 27)
Walau anna ma fil ardli min syajaratin aqlamun (dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena). Ayat ini merupakan jawaban bagi kaum yahudi yang bertanya kepada Rasulullah saw. atau yang menyuruh delegasi Quraisy agar menanyakan kepada Nabi saw. ihwal ayat, Tidaklah kamu dianugrahi ilmu melainkan sedikit, padahal Allah telah menurunkan Taurat yang di dalamnya terdapat pengetahuan mengenai segala sesuatu.
Makna ayat: Ilmu yang terdapat dalam Taurat, hikmah dan pengetahuan yang diberikan kepada manusia, walaupun menurut mereka banyak, tetapi hanyalah setetes saja dari samudra ilmu Allah.
Qatadah berkata: Kaum musyrikin berkatam “Al-Qur`an nyaris habis dan terhenti.” Maka diturunkanlah ayat di atas.
Yang dimaksud dengan syajaratun ialah tumbuhan apa saja yang berbatang; ia merampatkannya sebab tujuannya untuk memerinci satuan-satuan pohon. Maksudnya, setiap batang dari jenis pohon. Dengan demikian, tiada satu batang pohon jenis apa pun melainkan dibuat pena. Makna ayat: andaikan ditetapkan bahwa pohon-pohon itu menjadi pena.
Walbahru (dan laut), sedang laut, yaitu samudra yang demikian luas dan besarnya.
Yamudduhu (ditambahkan kepadanya), yakni ditambah dan dituangkan kepadanya; dijadikannya bertinta.
Mimba’dihi (sesudahnya), setelah habis dan tandas.
Sab’atu abhurin (tujuh laut lagi) seperti laut Cina, laut Hindia, laut Sunda, Laut Persia, dan laut lainnya.
Ma nafidzat kalimatullahi (niscaya tidak akan habis-habisnya kalimat Allah), yakni apa yang berkaitan dengan ilmu dan hikmah-Nya takkan habis, justru pena dan tinta itulah yang habis.
Innallaha ‘azizun (sesungguhnya Allah Maha Perkasa), tidak ada satu perkara pun yang dapat melemahkan-Nya.
Hakimun (lagi Maha Bijaksana). Tidak ada satu perkara pun yang melenceng dari pengetahuan dan hikmah-Nya. Maka kalimat-kalimat-Nya yang berdasarkan atas ilmu dan hikmah-Nya tidak akan habis.
Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu melainkan hanyalah seperti menciptakan satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. 31 Luqman: 28)
Ma khalqukum (tidaklah Allah menciptakan kamu). Muqatil dan Qatadah berkata: Kafir Quraisy berkata, “Allah menciptakan kita dalam beberapa fase (nuthfah, segumpal darah, segumpal daging). Jadi, bagaimana mungkin Dia membangkitkan kita sebagai makhluk baru pada saat yang bersamaan?” Maka Allah menurunkan ayat ini. Dia berfirman, “Tidaklah menciptakan kamu, hai manusia, walaupun jumlah kamu banyak…”
Wala ba’tsukum (dan membangkitkan kamu), yakni menghidupkan dan mengeluarkan kamu dari kubur.
Illa kanafsin wahidatin (melainkan hanyalah seperti menciptakan satu jiwa saja), yakni seperti menciptakan dan membangkitkan satu jiwa dalam hal kemudahannya, sebab tiada suatu perbuatan yang menghambat-Nya dari perbuatan lain karena untuk mengadakan segala sesuatu cukup dengan mengaitkan iradat dan qudrat-Nya dengan segala sesuatu, baik sedikit maupun banyak. Dia hanya mengatakan, “Jadilah!” Maka ia pun menjadi.
Innallaha sami’un (sesungguhnya Allah Maha Mendengar). Dia mendengar segala hal yang dapat didengar.
Bashirun (lagi Maha Melihat). Dia melihat apa yang dapat dilihat. Pengetahuan tentang sesuatu tidak menghalanginya dari mengetahui sesuatu yang lain, termasuk menciptakan dan membangkitkan. Yang lain menafsirkan: Maha Melihat segala keadaan orang yang hidup dan yang mati.
Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 31 Luqman: 29)
Alam tara (tidakkah kamu memperhatikan), tidakkah kamu mengetahui, hai orang yang pantas disapa, dengan pengetahuan yang kuat hingga seolah-olah melihat dengan mata.
Annallaha (bahwa sesungguhnya Allah), dengan kekuasaan dan hikmah-Nya.
Yulijul laila finnahari (memasukkan malam ke dalam siang). Al-waluj berarti masuk ke ruang sempit. Yakni memasukkan malam ke dalam siang dan menambahkannya dengan cara menambahkan beberapa waktu malam ke dalam waktu siang pada musim panas selaras dengan terbit dan terbenamnya matahari.
Wa yulijun nahara fillaili (dan memasukkan siang ke dalam malam), yakni memasukkan siang ke dalam malam dan menyatukan bagian yang satu kepada yang lain, misalnya menambahkan beberapa waktu siang ke waktu malam pada musim dingin selaras dengan terbit dan terbenamnya matahari.
Wa sakhkharas syamsa walqamara (dan Dia tundukkan matahari dan bulan). Penaklukan matahari dan bulan merupakan perkara yang tak terhingga. Yang dapat dihinggakan ialah dampaknya sebagaimana diisyaratkan oleh ayat selanjutnya,
Kullun (masing-masing) matahari dan bulan.
Yajri (berjalan) selaras dengan gerakannya yang khas dengan mengikuti putaran harian yang berlainan dan beragam selaras dengan jumlah hari. Ia terus bergerak.
Yajri ila ajalim musamma (sampai kepada waktu yang telah ditentukan), yakni masa peredaran yang ditetapkan Allah Ta’ala, yaitu hingga kiamat.
Demikianlah tafsiran yang diriwayatkan dari al-Hasan. Keduanya terus beredar kecuali saat kiamat. Berjalannya matahari dan bulan berarti pergerakan keduanya pada orbitnya masing-masing; waktu yang ditentukan berarti batas akhir gerakannya. Masa peredaran matahari adalah satu tahun, sedangkan bulan satu bulan.
Dengan demikian penggalan ini menjelaskan hikmah penaklukan matahari dan bulan dan memberitahukan cara memasukan masa peredaran yang satu kepada masa yang lain serta menjelaskan bahwa hal itu selaras dengan peredaran matahari dan bulan pada setiap hari di atas orbitnya masing-masing.
Wa annallaha bima ta’maluna khabirun (dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan); Maha Mengetahui hakikat perbuatanmu, sebab barangsiapa yang melihat perbuatan-Nya yang menakjubkan itu dan pengaturan-Nya yang serasi, niscaya dia tahu bahwa Penciptanya sangat mampu melakukan aneka pekerjaan raksasa dan bahwa Dia memahami pekerjaan-Nya secara rinci.
Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil; dan sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. 31 Luqman: 30)
Dzalika (demikianlah), yakni keluasan ilmu tersebut, kekuasaan-Nya yang menyeluruh, aneka ciptaan-Nya yang menakjubkan, dan bahwa Dia-lah yang menciptakan semua itu.
Bi`annallaha huwal haqqu (karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak) ketuhanan-Nya, bukan seperti yang mereka katakan.
Wa anna ma yad’una min dunihi (dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain dari Allah) Ta’ala berupa berhala.
Al-bathilu (itulah yang batil), sebab penyembahannya tidak membuahkan manfaat apa pun.
Wa annallaha huwal ‘aliyyu (dan sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Tinggi) dari segala sesuatu.
Al-kabiru (lagi Maha Besar), Yang Mahakuasa sehingga semuanya menjadi hina di sisi kebesaran-Nya. Barangsiapa yang mengetahui kebesaran-Nya dan melupakan kebesaran dirinya, berarti dia bergantung pada tali ketawadhuan dan tetap memelihara kehormatan.
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. (QS. 31 Luqman: 31)
Alam tara (tidakkah kamu memperhatikan), melihat dengan nyata.
Annal fulka tajri (bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar). Dalam al-Mufradat dikatakan: Al-jaryu berarti melintas dengan cepat. Kata ini digunakan untuk melintas di air atau pada hal lain yang dilalui.
Fil bahri bini’matillahi (di laut dengan nikmat Allah) Ta’ala dan kebaikan-Nya dengan menyediakan aneka sarananya, sehingga Dia menjadikan air sebagai tempat yang dapat dilalui.
Liyuriyakum min ayatihi (supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda-Nya) keesaan-Nya, ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, dan sebagian keajaiban-Nya, yang secara lahiriah berupa selamatnya mereka di atas bahtera. Jika pedagang ditanya, “Keanehan apa saja yang dapat kamu lihat di laut?” Dia menjawab, “Keselamatanku di laut.”
Inna fi dzalika (sesungguhnya pada yang demikian itu), yakni masalah angkasa dan lautan.
La`ayatin (benar-benar terdapat tanda-tanda) yang substansinya besar dan jumlahnya banyak.
Likulli shabbarin (bagi semua orang yang sangat sabar) dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dia mau berpayah-payah dalam merenungkan dirinya sendiri dan alam semesta.
Syakurin (lagi banyak bersyukur) atas aneka nikmat-Nya.
Sabar dan syukur merupakan sifat seorang Mu`min. Keimanan terdiri atas dua bagian: sebagian berupa sabar dan sebagian lagi berupa syukur. Sabar berarti memikul kesulitan selaras dengan kekuatan fisik. Sabar bagaikan obat yang pahit, tetapi mujarab. Syukur berarti menggambarkan nikmat dengan qalbu, memuji pemberi nikmat dengan lisan, dan beribadah dengan tindakan. Allah menetapkan sabar sebagai permulaan, sedangkan syukur sebagai akhir. Jadi, syukur lebih utama daripada sabar.
Orang yang bersabar kadang tidak menampakkan keluh-kesahnya, sedang orang yang bersyukur dapat menampilkan kegembiraan pada sesuatu yang membuat orang sabar berkeluh kesah. Alangkah bedanya antara menahan diri dalam menghadapi kerasnya ujian, yakni bersabar, dan tidak mempedulikan ujian, bahkan memandang ujian sebagai nikmat, yakni bersyukur?
Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar. (QS. 31 Luqman: 32)
Wa idza ghasyiyahum (dan apabila mereka dilamun). Ghasyiyahu berarti ditutupi dan diselimuti dari atas. Kata mereka merujuk kepada siapa saja yang naik bahtera. Makna ayat: jika penumpang bahtera diselimuti …
Maujun (ombak), yaitu air yang meninggi.
Kazhzhulali (seperti gunung), seperti bayang-bayang gunung, awan, atau selainnya. Dalam Kasyful Asrar dikatakan: Setiap perkara yang menaungimu disebut zhullah. Ombak diserupakan dengan naungan karena besar dan tingginya. Ombak yang berbentuk tunggal diserupakan dengan zhulal (naungan) yang berbentuk jamak, sebab ombak datang beriringan (banyak).
Da’awullaha mukhlishina lahud dina (mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya), yakni memurnikan doa dan ketaatan kepada-Nya, tidak menyebutkan nama selain-Nya, dan tidak meminta tolong kepada selain-Nya sebab rasa takut yang luar biasa membuat fitrah mereka meninggalkan hawa nafsu dan sikap taklid.
Falamma najjahum ilal barri (maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan), yakni meraih apa yang didambakannya secara nyata karena ketulusan mereka dalam berdoa.
Faminhum muqtashidun (lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus), yaitu orang Mu`min yang bertauhid.
Seorang ulama meriwayatkan: Ketika terjadi pembebasan Mekah, Rasulullah saw. Menjamin keamanan manusia kecuali empat orang. Beliau bersabda, Bunuhlah mereka, walaupun kamu menjumpainya tengah bergantung pada kain penutup Ka’bah. Mereka adalah ‘Akramah bin Abu Jahal, Abdullah bin Khathal, Maqis bin Sababah, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah. Adapun ‘Akramah, dia lari ke laut. Bahteranya diterjang badai. Para penumpang kapal berkata, “Berdoalah dengan ikhlash sebab di sini tuhanmu tak berguna sedikit pun.
” ‘Akramah berkata, “Jika tiada yang menyelamatkanku di laut kecuali keikhlasan, lalu siapa yang menyelamatkanku di darat selain dari-Nya? Ya Allah, aku berjanji kepadamu, jika Engkau menyelamatkanku dari apa yang tengah aku alami, niscaya aku akan menjumpai Muhammad hingga aku dapat meletakkan tanganku di atas tangannya. Sungguh aku akan menjumpainya sebagai orang yang pemaaf dan pemurah.” Angin pun reda. ‘Akramah kembali ke Mekah dan masuk Islam dan memeluknya dengan baik.
Wama yajhadu bi`ayatina illa kullu khattarin (dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia), yakni pengkhianat sebab dia mengingkari janji yang fitrah, atau menolak kenikmatan yang diraihnya di lautan. Al-khatru berarti pengkhianatan yang paling jahat dan buruk.
Kafurin (lagi ingkar), yakni sangat mengingkari nikmat-nikmat Allah Ta’ala. Kata ini hanya dikenakan kepada orang yang biasa ingkar, seperti halnya kata zhalum dikenakan kepada yang biasa berbuat zalim. Orang kafir disebut khattar dan kafur sebab merupakan perkara terburuk yang ada pada dirinya, sehingga Nabi saw. memandang pengkhianatan sebagai salah satu tanda kemunafikan.
Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari saat seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat pula menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan pula penipu memperdayakan kamu dalam mentaati Allah". (QS. 31 Luqman: 33)
Ya ayyuhan nasu (hai manusia). Seruan ditujukan kepada segenap kaum mukallaf, sedang asalnya ditujukan kepada kafir Mekah.
Ittaqu rabbakum (bertaqwalah kepada Tuhanmu) dengan menjauhkan diri dari kekafiran, kemaksiatan, dan perkara selain Allah Ta’ala.
Seorang ahli makrifat berkata: Kadang-kadang Dia menakut-nakuti mereka dengan aneka perbuatannya sehingga Dia berfirman, Ittaqu fitnatan, dan kadang-kadang dengan sifat-Nya sehingga Dia berfirman alam ya’lam bi`annallaha yara, serta kadang-kadang dengan zat-Nya sehingga Dia berfirman wayuhadz-dzirukumullahu nafsahu.
Wahsyau (dan takutilah). Khasyyah berarti takut yang disertai takzim. Hal ini pada umumnya terjadi karena mengetahui apa yang ditakutinya.
Yauman (suatu hari), yaitu hari kiamat.
La yajzi walidun ‘an waladihi (saat seorang bapak tidak dapat menolong anaknya), yakni tidak dapat memenuhi haknya sedikit pun, tidak dapat memikul sebagian keburukannya, dan tidak dapat memberikan sebagian kenikmatannya. Anak menunjukkan keturunan yang dekat. Jika dia tidak dapat membela orang yang paling dekat dengannya, maka membela selainnya lebih tidak mampu lagi. Ayat ini memutuskan harapan kaum yang tertipu, yang membanggakan nenek moyangnya, yang mengandalkan pertolongan mereka padahal mereka tidak memiliki keimanan dan amal saleh.
Wala mauludun huwa jazin ‘an walidihi syai`an (dan seorang anak tidak dapat pula menolong bapaknya sedikit pun), yakni tidak dapat memenuhi hak apa pun. Di sini ayah dan anak disebutkan secara khusus guna mengingatkan selain keduanya. Anak difokuskan pada keturunan yang paling dekat. Jika pertolongan anak kepada ayah sebagai orang yang melahirkannya tidak dapat diterima, apalagi pertolongan anak kepada kakek dan seterusnya.
Inna wa’dallahi (sesungguhnya janji Allah) untuk mengumpulkan dan menyediakan surga dan neraka; pahala dan siksa. Janji berkaitan dengan baik dan buruk, sedangkan ancaman berkaitan dengan keburukan semata.
Haqqun (adalah benar), pasti terjadi, tidak salah.
Fala taghurrannakumul hayatud dunya (maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu). Yang dimaksud dengan kehidupan dunia ialah perhiasan, keindahan, dan keinginan dunia. Makna ayat: Janganlah kamu tertipu oleh keselamatanmu pada masa sekarang, sebab sebentar lagi kamu akan menyesal di akhirat.
Wala yaghurrannakum billahil gharuru (dan jangan pula penipu memperdayakan kamu dalam mentaati Allah). Al-gharur berarti segala perkara yang menipu manusia seperti kekayaan, syahwat, dan setan. Gharur juga ditafsirkan dengan setan sebab dia sebagai penipu yang paling jahat. Makna ayat: Jangan sekali-kali kamu ditipu oleh setan yang sangat pandai memperdaya, misalnya dengan menumpukan harapan pada tobat dan maghfirah, lalu ia menyeretmu kepada kemaksiatan; atau setan membuatmu lupa akan kuburan dan lalai akan berbagai keadaan kiamat dan kengeriannya.
Dalam Kasyful Asrar dikatakan: Tertipu oleh Allah berarti berbaik sangka kepada Allah, tetapi berbuat buruk. Dalam khabar dikatakan,
Orang cerdik ialah yang melemahkan nafsunya dan beramal untuk masa setelah mati.
Orang lemah ialah yang mengikuti keinginan nafsunya lalu menggantungkan aneka harapan kepada Allah (HR. Ahmad, Tirmidzi, Hakim, dan Ibnu Majah).
Penyair bersenandung,
Kauharapkan keselamatan tanpa menempuh jalannya
Sungguh, bahtera tak melaju di daratan
Ayat di atas menjelaskan pupusnya harapan meraih manfaat dari pihak lain, jika mengabaikan keislaman dan ketaatan, dan hanya mengandalkan kesalehan orang lain, sebab kiamat itu merupakan hari yang besar. Pada hari ini hubungan keturunan tidaklah berguna, apalagi hubungan selainnya.
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. 31 Luqman: 34)
Innallaha ‘indahu ‘ilmus sa’ati (sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat). Kiamat disebut as-Sa’ah karena ia terjadi pada akhir saat dunia. Makna ayat: Dia mengetahui waktu terjadinya kiamat berikut keadaan dan kengerian yang mengiringinya.
Dialah sendiri yang mengetahuinya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui tentang tahun, bulan, dan jam berapakah kiamat terjadi. Allah merahasiakan waktu kiamat supaya manusia senantiasa waspada dan siaga. Diriwayatkan bahwa seorang Badui bertanya kepada Nabi saw., “Kapakan kiamat?” Nabi saw. menjawab, “Apa yang kau siapkan untuk menghadapinya?” Dia menjawab, “Tidak ada, tetapi aku mencintai Allah dan Rasulnya.” Nabi bersabda, “Engkau bersama orang yang kamu cintai” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Syaikhani).
Wayunazzilul ghaitsa (dan Dia-lah Yang menurunkan hujan). Hujan disebut al-mathar karena makhluk ditolong dengannya. Makna ayat: hujan diturunkan pada masa yang telah ditentukan tanpa dipajukan dan diundurkan, ke tempat yang ditentukan dalam pengetahuan-Nya tanpa keliru dan tanpa penggantian. Dia-lah semata yang mengetahui waktu dan tempat turunnya serta jumlah tetesannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata,
Tiada tahun yang lebih banyak hujannya daripada tahun yang lain. Jika suatu kaum melakukan aneka kemaksiatan, Allah mengalihkannya ke kaum lain. Jika seluruh manusia durhaka, Allah mengalihkannya ke padang pasir dan lautan.
Waya’lamu ma fil arhami (dan mengetahui apa yang ada dalam rahim). Rahim ialah ruang tempat tumbuh anak dan wadahnya. Yakni Allah mengetahui zatnya dan jenis kelaminnya, hidup atau mati, sempurna atau cacat, baik atau buruk, dan apakah bahagia atau celaka.
Wama tadri nafsun (dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui), yakni tiada seorang pun. Tadri – dirayah, berarti pengetahuan yang dicapai dengan semacam kiat.
Madza taksibu ghadan (apa yang akan diusahakannya besok). Al-kasbu berarti sesuatu yang diprioritaskan manusia karena dapat meraih manfaan dan membuahkan perolehan. Makna ayat: Dia mengetahui kebaikan atau keburukan; keharmonisan dan perselisihan yang dapat diraih. Mungkin seseorang berencana melakukan kebaikan, lalu dia melakukan keburukan, atau sebaliknya. Jika manusia tidak memiliki jalan untuk mengetahui jenis usaha yang layak baginya, maka mengetahui jenis usaha lain dan keberhasilannya lebih tidak mungkin. Demikian pula, jika hal-hal yang berkaitan dengan hari esok saja tidak tahu, maka dia akan lebih tidak mengetahui tentang hari-hari selain hari esok.
Wama tadri nafsun (dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui), walaupun dia melakukan kiat-kiatnya.
Bi`ayyi ardlin tamutu (di bumi mana dia akan mati), di darat atau di laut, di lembah atau di gunung; dia pun tidak tahu kapan dia akan meninggal.
Diriwayatkan bahwa Malakal maut melintas ke tempat Sulaiman a.s.
Dia memperhatikan salah seorang teman duduknya. Orang yang diperhatikan bertanya, “Siapa dia?”
Sulaiman menjawab, “Malakal maut”.
Temannya berkata, “Kiranya dia menghendaki diriku. Suruhlah angin agar menerbangkanku dan menjatuhkanku di India.” Sulaiman mematuhinya.
Malakal maut berkata, “Tatapanku menunjukkan kekagumanku kepadanya, sebab aku diperintah mencabut ruhnya di India, sedang dia berada di sisimu.”
Dikisahkan bahwa Abu Hurairah pergi mengelilingi beberapa sudut kota Madinah. Tiba-tiba dia melihat kuburan tengah digali. Dia menghampirinya lalu bertanya, “Untuk menguburkan siapa?” Seseorang menjawab, “Untuk seorang laki-laki Habsyi.” Abu Hurairah berkata, “Tiada Tuhan melainkan Allah. Dia digiring dari bumi dan langit Habsyi dan akhirnya dikubur di tanah yang menjadi asal dia diciptakan. Pada hari kiamat bumi berkata, ‘Ya Rabbi, inilah yang Engkau titipkan kepadaku.’”
Para penyair bersenandung,
Jika kematian seseorang terjadi di suatu negeri,
Niscaya ada kebutuhan yang menariknya untuk pergi ke sana,
Lalu dia pun pergi negeri itu.
Ayat di atas mengingatkan hamba supaya bersiaga menghadapi kematian, mempersiapkannya dengan ketaatan yang baik, keluar dari kezaliman, membayar utang, menetapkan wasiat kepada orang yang ada di sisinya, terutama jika dia hendak bepergian jauh, sebab tiada yang tahu kapan dan di mana kematiannya?
Para penyair bersenandung,
Kita ayunkan langkah yang ditetapkan bagi kita
Jika langkah telah ditetapkan untuknya, dia akan mengayunkannya
Rizki kita berlainan-beragam
Jika kita tidak menjumpainya, rizkilah yang menjumpaimu.
Jika kematiannya ditetapkan di suatu negeri
Dia takkan mati di negeri lain.
Innallaha ‘alimun (sesungguhnya Allah Maha Mengetahui). Dia mengetahui segala perkara.
Khabirun (lagi Maha Mengenal). Dia mengetahui batiniah perkara sebagaimana Dia mengetahui lahiriahnya.
Itulah lima kunci kegaiban. Barangsiapa yang mengaku bahwa dia mengetahui salah satu dari lima kegaiban ini, berarti dia kafir kepada Allah. Kaum jahiliayh suka bertanya tentang lima kegaiban ini kepada ahli nujum karena mengira mereka mengetahuinya. Membenarkan dukun yang menceritakan kegaiban merupakan kekafiran sebab Nabi saw. bersabda,
Barangsiapa yang mengunjungi dukun, lalu membenarkan ucapannya, berarti dia ingkar kepada apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad (HR. Ahmad).
Dukun (kahin) ialah orang yang memberitahukan aneka kejadian pada masa yang akan datang dan mengetahui bahwa dia mengetahui aneka rahasia. Pada masyarakat Arab terdapat sejumlah dukun yang mengklaim bahwa dirinya mengetahui aneka perkara. Ada pula dukun yang mengatakan bahwa dia dapat bergaul dengan jin yang kemudian memberitahukan aneka informasi. Jika astrolog mengaku bahwa dia mengetahui aneka peristiwa yang akan datang, maka dia seperti dukun.
Peramal (‘arraf) ialah orang yang memberitahukan barang curian atau tempat barang hilang.
Maksud hadits ialah bertanya kepada dukun untuk membenarkan informasinya. Perbuatan inilah yang diharamkan. Jika meyakini bahwa dukun mengetahui alam gaib, maka dia kafir sebagimana dikatakan dalam Hadits. Namun, jika bertanya kepada dukun untuk menguji keadaannya dan menggali informasinya, sedang dia memiliki sarana untuk memilah antara kebenaran dan kebohongannya, maka hal itu dibolehkan.
Dari paparan di atas jelaslah bahwa jegaiban hanya milik Allah Ta’ala. Adapun riwayat yang mengatakan bahwa para nabi atau wali memberitahukan kegaiban adalah karena mereka diberi tahu oleh Allah, baik melalui wahyu maupun ilham atau mukasyafah. Jadi, hal ini tidak bertentangan dengan kekhususan kegaiban bagi Allah sebagaimana diisyaratkan oleh firman-Nya,
Dia adalah Tuhan Yang Mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kegaiban itu kepada seorang pun (al-Jin: 26).
Namun, ada pula kegaiban yang tidak diberitahukan kepada siapa pun, termasuk kepada malaikat yang dekat dengan-Nya dan tidak pula kepada seorang rasul yang diutus, sebagaimana ditegaskan,
Pda sisi-Nya-lah kunci-kunci kegaiban yang tiada diketahui kecuali oleh-Nya (al-An’am: 59).
Di antara kegaiban yang tidak diberitahukan ialah tentang kiamat. Allah menyamarkan tentang kiamat. Dia hanya menjelaskan tanda-tandanya melalui Nabi saw. seperti keluarnya dajal, turunnya Isa, matahari terbit dari barat, dan tanda lainnya yang muncul pada akhir zaman seperti dominannya bid’ah dan diumbarnya hawa nafsu. Kita memohon keamanan dan keselamatan kepada-Nya.
"BAGI YANG BERMINAT /KONSULTASI VIA SMS MOHON CANTUMKAN NAMA DAN ALAMAT VALID, SEBAGAI BUKTI NIAT BAIK ANDA.."
terimaksih
< :: > SEMUA POSTINGAN DI WEBSITE INI BERTUJUAN UNTUK MENAMBAH KHASANAH WAWASAN KITA SAJA, DIAMBIL DARI BERBAGAI SUMBER,,
... ILMAN 'ALIMUN AL-ILMU ANNUR..!!